March 27, 2017

WEEKLY DIARY #7 : DINGIN.

Media sosial terkadang bisa membuat terlihat rumput tetangga lebih hijau dibanding rumput di halaman rumah sendiri. Belum lagi kepo-in akun orang lain membuat saya menjadi senang drama, bahwa kehidupan saya gak se-bahagia si dia. Apalagi, situasi keluarga memang saat ini sedang tidak menyenangkan.


Sebelumnya saya tidak pernah membayangkan menjalani kehidupan rumah tangga seorang diri. Perasaan saya kadang berada di atas, kadang juga berada di bawah, tidak menentu. Sekali waktu merasa down saya berusaha sekuat tenaga sendirian untuk re-charge mood dengan berbagai cara, tanpa bantuan siapapun. Sendirian. Mati-matian menggadang-gadang konsep bahagia dari dalam diri sendiri meskipun saya gak punya 'me time' untuk sekedar main ping pong atau bilyard dengan teman-teman seperti kesukaan yang dilakukan suami. Tapi entah kali ini saya kehabisan tenaga buat membangkitkan energi positif dalam diri sendiri karena sekian lama saya memaksakan diri akhirnya ada juga rasa jenuh dan masuk dalam fase menyerah. Menyerah dalam artian berusaha melupakan hal-hal yang membuat saya kecewa teramat sangat karena keadaan.

Gara-gara media sosial, kadang saya sering menangis seorang diri,
Melihat sajian hangat yang disediakan teman untuk bekal suaminya pergi bekerja,
Melihat anak-anak bahagia yang sedang digendong ayahnya diatas pundaknya,
Kadang saya berusaha mengingat-ingat kembali rasa ketika saya sedang marah atau ada masalah selalu ada pelukan hangat dari pasangan yang rasanya bagaikan air tenang yang mengisi hati dan pikiran,

Saya berusaha mengingat-ingat lagi ucapan manis yang sering didengar setiap hari sebagai penghantar tidur kami semenjak kami pacaran hingga membina rumah tangga.
Bahkan sedikit demi sedikit saya hampir lupa bagaimana rasanya jantung sering berdebar kencang sambil bertengger di pintu rumah karena senang menyambut suami pulang kerja,
Mengkhawatirkan suami dan selalu menunggunya pulang meskipun itu sudah larut malam sudah jadi rutinitas, sering saya ngomel, "ini sudah malam, kamu kog gak pulang-pulang." dan suami berusaha kirim foto perjalanan macet di sepanjang jalan.
Saya juga mendadak rindu membuatkannya jus setiap hari hanya untuk menjamin kesehatan suami, karena saya kurang begitu suka berbagi rasa duka jika anggota keluarga sedang sakit.
Berkeringat dengan penuh semangat menyajikan masakan yang enak untuk suami meskipun hasilnya gak enak-enak banget.
Bahkan saya sering bahagia dengan perhatian kecil saat suami mengambilkan saya berbagai makanan dan minuman di rumah dan dimanapun kami berada.
Jaman dulu pacaran, saya selalu dimintain tolong untuk menemani mantan pacar (sekarang sudah jadi suami) membuat tugas-tugas S2nya, waktu itu saya merasa senang karena saya merasa dibutuhkan untuk menemani hari-harinya via chat dalam kondisi berjauhan kota, meskipun saya juga sering ketiduran sih.

Setiap sabtu dan minggu kami selalu luangkan waktu untuk ngobrol berdua sambil menikmati cita rasa makanan di luar rumah, atau nonton DVD bareng yang menitnya harus di sama-samain sambil web cam-an supaya feelnya sama-sama dapet untuk menikmati sebuah cerita dalam film.
Saya juga gak pernah lupa kenangan saat-saat saya bela-belain ngunjungin kantor suami buat makan siang bareng, meskipun saya harus balik kantor agak telat sambil berlari-larian karena manager udah setengah ngambek nagih-nagih kerjaan saya.
Dan saya tidak pernah lupa bagaimana saya tertawa ketika mendapati celana kesayangan suami saya robek kecantol kursi di kopaja karena bela-belain nyari singkong empuk saat saya hamil dan ngidam.

5 tahun kami berpisah kota dan hanya 6 bulan kami berada dalam satu rumah.
Sampai akhirnya saya memahami, bagaimana rasanya jika kosmetik-kosmetik mahal yang dibelikan suami tidak akan pernah bisa menggantikan sebuah pelukan hangat yang sangat berharga di hari ulang tahun saya.

Cerita yang sudah ada tidak akan pernah saya lupakan.
Tapi, pada saat ini saya sudah LUPA.
LUPA....bagaimana caranya merasakan dan menikmati kehangatan seperti 5 tahun silam.



DINGIN...



Dan dua tahun belakangan ini keadaan berangsur-angsur berubah dengan sangat total,
Tidak ada lagi rasa butuh ditemani belajar, tidur ya langsung tidur saja tanpa sepatah katapun, karena capek dengan rutinitas masing-masing dan juga beda waktu yang sangat kurang ajar dan tidak kenal toleran itu. Tidak ada lagi hari istimewa untuk sekedar ngobrol berdua setiap sabtu dan minggu. Mungkin telinga sudah penging mendengar keluhan seorang ibu yang capek dan stress mengasuh anak 24 jam non stop tanpa 'me time'. Menunggu suami pulang sekarang adalah hal yang paling saya benci karena saya tau, saya akan menangisi detik-detik kepergiannya lagi. Sampai saya belajar sedikit demi sedikit untuk melupakan apa yang namanya harapan yang tidak mungkin terpenuhi karena keadaan. Tidak ada lagi dalam kehidupan saya yang namanya 'butuh' seseorang. Semua saya lakoni sendirian meskipun itu berat dan tidak seorang pun tahu dan benar-benar mengerti apa yang saya rasakan.

Tidak terasa memang, seiring waktu kemandirian yang tidak sengaja terbentuk, dan sikap mengesampingkan mental cengeng membuat hati saya tertempa menjadi keras dan dingin, dingin seperti riak-riak embun yang tertinggal di setiap sudut aksesoris kota kala hujan.

Mungkin orang lain bisa dengan bijak memberitahu saya, "Sabar..mbak!" atau "Yang kuat ya!" apalagi.. "Mudah-mudahan indah pada waktunya" dan lain-lain, saya malah udah gak kepikiran, saya tetap menjalani kehidupan pahit dan manis bersamaan, tanpa peduli apa yang akan terjadi nanti. Meresapi teori 'bahagia berasal dari dalam diri sendiri' tidak semudah yang dibayangkan. Awalnya mudah, tapi lama-lama saya rasanya seperti mau muntah karena butuh tenaga ekstra untuk menciptakan rasa bahagia sendirian, lama-lama capek, hampir 2 tahun saya berjuang sendirian melawan pikiran negatif di dalam diri. Dan, kadang-kadang saya jadi ngebayangin TKI wanita yang nekat ninggalin anak dan suami demi sesuap nasi sampai bertahun-tahun tanpa pulang sama sekali itu rasanya.... 'kek mana pulak?' atau janda ditinggal mati suami dan mau gak mau harus jadi tulang punggung keluarga menghadapi kerasnya hidup, mungkin sudah tidak kenal lagi apa itu romansa? kecuali sebatas kasih sayang ibu dan anak yang masih selalu ada.

Meskipun perlahan hati semakin dingin dan keras, hidup akan tetap terus berjalan, bagaimanapun keadaan mau tidak mau harus tetap dihadapi bukan dihindari. Entah sampai kapan...
Cuma satu yang saya pahami, hadirnya seorang anak tidak akan pernah membuat seorang ibu menjadi lemah dan putus asa meskipun jalan yang dihadapi sedang berat dan susah. 

No comments:

Post a Comment