June 13, 2017

PRIORITAS

Beberapa hari ini R tampak tidak bahagia. Dia secara gamblang menangis berkali-kali hingga mengeluarkan air matanya ketika melihat video dan foto-foto ayahnya di smartphone saya. Pertama kali R menyatakan,"Kangen papa..gendong pa..". Tangis saya akhirnya pecah melihat R seperti ini, orang-orang melihat saya wanita yang kuat dalam menghadapi segalanya termasuk ketika menghadapi tantangan sendirian, padahal ada kalanya saya cuma seorang perempuan biasa yang sama dengan perempuan-perempuan lainnya. Mungkin di dunia ini cuma ada perempuan jadi-jadian yang bisa mengutamakan logika dibanding perasaan.

Sudah beberapa kali R harus menekan kebutuhan berinteraksi dengan ayahnya, dan saya berusaha mati-matian untuk meyakinkan R soal ayahnya yang masih memprioritaskan hal lain yang lebih penting dibanding dirinya. Tapi mungkin R masih terlalu kecil untuk bisa mengerti.
Untuk mengurangi rasa tangis R setiap kali melihat wajah ayahnya, terpaksa saya memutuskan untuk memindahkan foto-foto ayahnya dari smartphone ke komputer, agar R tidak melihat sesuatu yang membuatnya menangis lagi, karena beberapa sumber psikolog mengatakan tidak baik untuk perkembangan otak anak jika ia terus menerus merasa sedih, karena menghambat hormon oksitosinnya untuk membuatnya berkembang.

Di saat yang bersamaan, 2 hari saya demam, tidur saja seharian, melungker seperti ular. R menangis lihat kondisi ibunya, dan ikut tiduran disamping saya. Biasanya R lompat-lompat di kasur, mainan wayang, tapi hari itu ia ikut merebahkan kepalanya di dekat saya. Saya sudah tidak kuat, momong R yang aktif tanpa ada 'me time' atau pengasuh pengganti. Ibu saya kebingungan, karena R gak ada yang momong. Akhirnya ibu saya menyuruh saya minum obat penurun panas meskipun saya masih menyusui, saya nekat saja yang penting cepat sembuh. Ternyata, demam reda tapi hari berikutnya berlanjut perih di lambung yang sudah seminggu ini meskipun minum obat mag tidak kunjung sembuh juga hingga sekarang. Entah saya sudah menenggak berapa pil obat, seakan gak ada gunanya.

Sakit mag ini pertama kali saya alami dalam hidup, saya pun heran padahal saya makan teratur meskipun porsi makan berkurang drastis (karena saya sedang haid dan tidak puasa). Memang terasa mengganggu karena saya gak bisa selincah biasanya ngejar-ngejar R seharian. Ayah saya melihat saya lemas begini berusaha pergi ke pasar naik sepeda, membelikan saya pisang kepok untuk mengurangi rasa perih di lambung saya ketika makan, tapi gak ada hasil juga. Ayah ibu saya curiga, saya sakit bukan karena telat makan tapi karena stress, karena memang beberapa bulan ini saya sering diam dan aneh.

Saya memang lebih senang untuk menyembunyikan semua masalah-masalah saya sendirian dan lebih senang menulis sebagai terapi untuk mengurangi beban. Ketika orangtua saya merasa perlu turun tangan, akhirnya saya menceritakan semuanya apa yang saya rasakan selama 3 tahun ini tentang rasa kecewa yang ditimbun. Intinya hidup saya sudah tidak seimbang dan tidak sehat, tidak ada yang peduli, dan saya depresi, frustasi, sensitif, trauma untuk punya anak lagi, dan lain sebagainya.

3 tahun, bayangkan saja! Kebutuhan-kebutuhan saya dan R terabaikan, hingga puncaknya sudah tidak ada lagi prioritas. Saya sudah terlalu banyak komplain dan juga sudah terlalu banyak diam hingga lelah sendiri, hingga perasaan saya sudah berubah terlalu jauh dan sulit untuk dikembalikan seperti semula. Saya menganggap komunikasi sudah tidaklah penting, karena ujung-ujungnya juga percuma. Mungkin R juga mengalami hal yang sama, karena hal yang seharusnya ia ingat malah terhapus. Gak banyak ayah dan ibu saya katakan selain, saya berhak bahagia untuk diri saya sendiri dan anak saya, apapun keputusan saya. Yang penting saya harus kuat dan sehat demi R, karena R masih butuh saya.
Kita tidak punya kendali untuk mengubah sifat orang lain, yang bisa kita lakukan hanya maukah menerima atau tidak, semuanya tergantung pilihan hidup sendiri termasuk konsekuensinya.

Bisa dibilang, ini masa-masa tersulit yang terjadi dalam hidup saya.
Meskipun prioritas sudah tidak lagi seimbang, di sisi lain saya gak peduli berapa besar rasa kecewa dan sakitnya, gak peduli seberapa jauh hati saya berubah,
Yang saya tau saya belum menyerah, saya masih berjuang menghadapi keadaan,
meskipun rasanya sudah tidak lagi sama.



No comments:

Post a Comment