Benarkah istri suka atau sering menuntut?
Hmm..sebelum menjudge diri sendiri atau suami menjudge istri seperti itu coba direnungkan kembali. Merenung juga gak hanya berlaku untuk suami tapi saya juga banyak merenung untuk hal ini. Saya sering bertanya kepada diri saya sendiri soal apa tujuan hidup keluarga saya ke depan, berusaha memahami kesulitan suami dengan memberikannya alternatif solusi yang bisa dilakukan agar tujuan tercapai. Tinggal mau menerimanya dengan perspektif pikiran yang seperti apa? persepktif negatif pasti menuduh istri yang bukan-bukan dan tidak mau mendengarkan nasihat baiknya, sedangkan berpikir positif adalah sepanjang tujuannya baik pasti sang suami akan mau saling bekerja sama dengan istri agar dapat menyongsong kehidupan bersama yang lebih baik di waktu yang akan datang.
Sebelum saya menyebutkan apa yang menjadi aspek penting dalam keluarga, saya ingin bercerita terlebih dahulu beberapa contoh dari keluarga besar saya yang dulunya bukan apa-apa sekarang menjadi sukses. Sukses itu kan gak langsung ada, pasti akan ada cerita pahit di dalamnya, dan dari cerita ini ada gambaran kuat bahwa peran istri terhadap kesuksesan suami itu bukan sekedar kata-kata motivasi tapi memang nyata adanya.
Waktu itu ibu saya pernah memaksa untuk membeli rumah yang sangat besar, menggunakan gaji ayah saya waktu itu habis dan tidak dapat menabung karena dipaksa membayar cicilan rumah dan bunganya. Waktu itu saya merasa ibu saya banyak menuntut ayah saya, ngapain coba beli rumah mahal-mahal?? padahal 5 tahun lagi ayah saya kan pensiun. Tapi saya juga mikir, ibu saya juga menderita waktu itu karena gak bisa beli apa-apa buat nyicil rumah, dan saya baru paham sekarang, jika rumah itu bisa dijadikan pendapatan pasif setelah ayah saya pensiun, teman-teman ayah saya yang lain bekerja lagi setelah pensiun sampai sakit keras, sedangkan ayah saya hanya duduk-duduk saja menerima uang hasil dari sewa rumah, dan harga rumahnya pun sekarang nilainya sudah fantastis, dan alhamdulillah kesehatan ayah saya masih prima dan awet muda dibanding dengan teman-temannya. Saya baru mengerti, ternyata ibu saya sangat cerdas mengelola aset dan keuangan rumah tangga, berhemat tidak cukup, bekerja keras dengan mengabaikan kesehatan akan percuma karena pasti akan menghabiskan banyak uang dan yang pasti gak bisa menikmati hidup. Kadang seorang istri perlu berpikir cerdas bagaimana menghasilkan rejeki tanpa mangabaikan kesehatan, istilahnya jangan seperti petani bekerja di sawah seumur hidup sampai sakit tapi hidupnya gitu-gitu aja gak ada perubahan. Dan kecerdasan ibu saya inilah yang menghantarkan suami dan anak-anaknya tetap terjamin kualitas hidupnya. Memang awalnya ibu saya kelihatan menuntut ya, tapi ayah saya sekarang mengakui kehebatan ibu saya mengelola aset rumah tangga.
Contoh yang kedua, tante saya yang berhasil mendukung suaminya untuk bekerja di perusahaan minyak di luar negeri. Om saya merasa pesimis, dan keburu membayangkan jika kerja di luar negeri itu sulit, terutama soal kompetensi ilmu dan bahasa, belum lagi bersaing dengan calon karyawan yang berasal dari seluruh negara, rasanya mustahil. Tante saya sempat dianggap menuntut suami di luar kemampuannya, tetapi om saya berpikir positif jika tidak masalah untuk dicoba sesuai saran istri, berusaha sambil berdoa, karena percaya akan keyakinan dan doa istri pasti ada keberuntungan di dalamnya. Dan tidak disangka om saya lulus seleksi bukan karena lebih pintar dibanding pesaing lainnya tapi juga keberuntungan yang tidak disangka-sangka. Tidak mungkin om saya bisa sesukses ini jika dulu ia berpikir negatif terhadap istrinya.
Contoh ketiga, om saya yang tidak mampu melanjutkan studi spesialis Ortopedi karena kendala biaya. Istrinya mendorongnya untuk berhutang. Berhutang sama keluarga sendiri gak ada masalah, waktu itu om saya berhutang pada ayah saya untuk melanjutkan studi. Tapi kekurangan biayanya masih harus ditutup dengan cara membuang gengsi untuk berhutang pada mertuanya. Mungkin, jika om saya tidak mau berhutang pada mertuanya sesuai saran istri, sekarang tidak akan jadi dokter spesialis ortopedi yang sukses dan terkenal se-Surabaya, dan gak akan bekerja sampai menangani 10 rumah sakit seperti sekarang ini.
Dan ada beberapa cerita juga dari keluarga saya yang istrinya cenderung pasif, dan ada juga sang suami yang tidak bisa menerima saran istri karena alasan mempertahankan gengsi dan harga diri sendiri. Saya tidak ingin bercerita detail untuk hal ini tapi saya mengerti bahwa sekarang ada penyesalan yang sangat besar di dalamnya.
Disini saya jadi sering berpikir dan merenung, bagaimana membedakan istri yang banyak menuntut dengan istri yang mendorong suaminya untuk bisa membawa keluarganya mempunyai dan tetap melindungi masa depan keluarganya. Karena awalnya saya lihat dari ketiga contoh diatas kesannya istri banyak menuntut suami, tapi ketika suami sukses mereka baru mengakui dan menyadari hebatnya dukungan istri dibalik kesuksesan suaminya.
Pertama yang saya bahas istri yang banyak menuntut, yang bagaimana? menurut saya istri tipe ini adalah istri dengan tipikal menuntut untuk kepentingannya sendiri dibanding keluarga yaitu suami dan anaknya. Menuntut dibelikan ini dan itu untuk sesuatu yang konsumtif dan tidak ada manfaatnya, menuntut suami yang sedang sakit dan lemah fisiknya, menuntut suami terus bekerja sampai mengabaikan kesehatan dan usianya, tidak bisa mengatur uang atau berfoya-foya sehingga suami dipaksa untuk terus mencari uang, memaksa suami berbuat curang untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan dalam karirnya, dan lebih parahnya mendukung suami berbuat korupsi tanpa memikirkan martabat keluarganya. Dan beberapa hal lainnya yang menurut saya menuntut sesuatu yang tidak membawa kebaikan dan tidak berperan melindungi keadaan dan masa depan keluarganya, itu adalah tipikal istri yang banyak menuntut.
Sebaliknya jika istri menuntut untuk tujuan yang lebih baik, menjamin masa depan keluarga, melindungi masa depan suami dan anaknya, memikirkan kesehatan suami dan anaknya, berhemat demi masa pensiun yang tenang, membantu suami mencarikan solusi dalam setiap kesulitannya, mensupport bagaimanapun sulitnya keadaan. Apakah tipikal istri seperti ini masih pantas dikatakan istri menuntut dibandingkan dengan menyebutnya mensupport dan memberikan dukungan demi masa depan keluarga?
Saya juga berpikir dalam segi agama mengenai kesholehan dan ketaatan seorang istri kepada suaminya. Saya bukan tipe seorang istri yang menggaris bawahi kata "TAAT" dengan makna yang sepotong-sepotong, apalagi memaknai artikel tanpa ada sumber dan dasar yang jelas. Beberapa artikel yang saya baca seperti salah satunya majalahsakinah.com yang diambil dari beberapa referensi buku. Namun yang perlu dipahami di sini adalah, sejauh manakah kewajiban taat seorang istri kepada suaminya? Apakah ia merupakan ketaatan mutlak tanpa batas? Ketaatan yang menjadikan istri layaknya budak kepada tuannya? Ataukah ada suatu kondisi di mana ketaatan itu boleh dilanggar, atau bahkan wajib didurhakai?
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf.”
Artinya, kepatuhan istri kepada suami dibatasi pada hal-hal yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah ta’ala. Jika sang suami memerintahkannya melakukan suatu kemaksiatan sekecil apa pun kemaksiatan itu, maka sebesar apa pun kecintaannya kepada sang suami, ia tidak boleh mematuhinya.
Saya juga berpikir dalam segi agama mengenai kesholehan dan ketaatan seorang istri kepada suaminya. Saya bukan tipe seorang istri yang menggaris bawahi kata "TAAT" dengan makna yang sepotong-sepotong, apalagi memaknai artikel tanpa ada sumber dan dasar yang jelas. Beberapa artikel yang saya baca seperti salah satunya majalahsakinah.com yang diambil dari beberapa referensi buku. Namun yang perlu dipahami di sini adalah, sejauh manakah kewajiban taat seorang istri kepada suaminya? Apakah ia merupakan ketaatan mutlak tanpa batas? Ketaatan yang menjadikan istri layaknya budak kepada tuannya? Ataukah ada suatu kondisi di mana ketaatan itu boleh dilanggar, atau bahkan wajib didurhakai?
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf.”
Artinya, kepatuhan istri kepada suami dibatasi pada hal-hal yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah ta’ala. Jika sang suami memerintahkannya melakukan suatu kemaksiatan sekecil apa pun kemaksiatan itu, maka sebesar apa pun kecintaannya kepada sang suami, ia tidak boleh mematuhinya.
Well, begitulah kompleksnya seorang istri. Ia bekerja bukan memikirkan hanya mencukupi kebutuhan keluarga yang seperti pria lakukan, tapi peran istri sangat dan lebih kompleks. Peran istri bukan hanya mengurus keperluan anak, atau mengatur keuangan keluarga untuk sebulan tapi ia juga berpikir untuk mengatur keuangan di tahun-tahun yang akan datang, bukan hanya minta makan, dinafkahi dan dicukupi untuk hari ini saja, tapi ia juga sangat berperan penting memastikan masa depan suami dan anak-anaknya dalam segala aspek untuk menjadi lebih baik dalam jangka panjang, belum lagi soal menjaga kesehatan suami dan anaknya. Seorang istri harus bisa menjamin suami bekerja dengan senang agar ia tetap sehat, seorang istri juga harus menunda kesenangan untuk dirinya sendiri agar anak dapat sekolah dengan tenang tanpa memikirkan masalah biaya. Kebayang gak sih kompleksnya jadi istri? kadang saya suka cenut-cenut mikirin ini semua, saya baru tahu beratnya peran seorang istri dalam keluarga karena banyak banget PR dari Tuhan ini. Ibaratnya suami nahkoda kapalnya dan istri bensinnya, artinya saling membutuhkan dan bekerja sama agar bahtera rumah tangganya berjalan dengan baik.
Saya jadi ingat kata-kata motivator Merry Riana yang 3 tahun lalu itu baru ngetop-ngetopnya, beliau bilang, dalam satu keluarga ada tiga aspek yang perlu dibangun yaitu cinta, kesehatan dan kemapanan.
Jika kita dikelilingi cinta hidup kita akan bahagia,
jika diberikan kesehatan, tentu juga kehidupan menjadi lebih mudah dan menyenangkan,
jika kita dianugrahi kemapanan kita dapat menambah kualitas dari cinta dan kesehatan untuk kebahagiaan yang lebih utuh. Dengan kata lain adalah pemanis dalam kehidupan rumah tangga yang harmonis.
Dan itu juga dikukuhkan dalam lagunya Tulus,
"Tuntutlah sesuatu biar kita jalan ke depan...."
No comments:
Post a Comment