March 08, 2017

BREASTFEEDING JOURNEY


"Menyusuilah dengan keras kepala!"

Kata-kata ini awal mula yang menggerakkan saya untuk menyusui sekeras apapun upaya dan seberapapun ASI yang bisa saya berikan untuk R hingga usia 2 tahun. Tidak mudah memang, karena diawal R lahir ASI saya belum keluar dan saya terpaksa memberikannya sufor untuk mencegah bilirubin naik dan 'susu sambungan' ini kebablasan hingga 2 bulan. Dengan upaya kerja keras untuk mengejar ketertinggalan debit ASI selama 2 bulan semenjak R lahir, saya baru bisa sukses memberikan ASI Eksklusif hingga 2 tahun, lantas upaya itu tidak selalu berjalan mulus, banyak kendalanya, mulai dari puting datar, LDR dengan suami yang menyebabkan komunikasi berantakan, gak punya 'me time', bingung puting, masalah berat badan anak yang gak naik-naik, baby blues, kelelahan karena semua saya urus sendiri tanpa asisten rumah tangga, dan lain sebagainya.

Frustasi. Depresi. Stress.

Mempertahankan ASI hingga 2 tahun tanpa kehadiran dan dukungan suami secara langsung sungguh sangat berat, saking beratnya beban yang saya hadapi sendirian tanpa kehadiran, kehangatan, dan kelembutan seorang suami untuk bisa memanjakan istri sejenak seperti ibu-ibu yang lain itu tidak pernah ada. Padahal, semua ibu-ibu tahu peran suami cukup penting untuk kesuksesan dalam memberikan ASI untuk buah hatinya. Misalnya, punya me time seperti mandi dengan santai untuk waktu yang lama, dan makan dengan tenang tanpa disambi-sambi urus anak itu sangat jarang sekali terjadi dalam kehidupan saya semenjak R lahir. Kebayang gak sih stressnya?

Wanita selalu merasa menyalahkan diri sendiri,

Saya tidak bekerja di kantor, saya dan R sehat, R lahir dengan normal dan lancar tanpa kendala. Saya merasa menyalahkan diri saya sendiri bahwa saya ibu yang sudah gagal tidak memberikan hak ASI pada anak. Sejak lahir, R sudah sambung pakai susu formula tapi saya tetap rutin pumping setiap 1-2 jam sekali, hingga tengah malam saya bela-belain melek pumping diselingi makan buah dan air putih 1 botol. Setiap R ingin menyusu saya barengi dengan pumping sebelah payudara saya, begitu terus secara rutin untuk fokus mengejar debit ASI dan stok ASIP agar bisa selalu mencukupi, dan saya pun jarang tertidur lelap di malam hari. Saking fokusnya dengan pumping dan target stok ASIP, intensitas memberikan ASI melalui botol lebih sering dibandingkan menyusui langsung, dan efeknya...R sempat bingung puting. Setiap saya mau menyusui langsung R menolak tapi rewel karena merasa haus.

Saya merasakan kegagalan yang kedua kalinya. Tidak bisa menyusui langsung rasanya seperti ditolak dan gagal menjadi seorang ibu, rasanya sedih, frustasi, menangis, campur aduklah! saya baru memahami bahwa kegiatan menyusui adalah salah satu hal yang membuat seseorang merasakan menjadi sebenar-benarnya ibu. Dengan kondisi bingung puting saya tetap berusaha untuk menawarkan menyusui langsung, skin to skin, memperbaiki latching dan sempat gonta ganti botol susu yang sekiranya menyerupai kontur puting saya. Dan, akhirnya usaha membuahkan hasil karena ketelatenan tiada tara. Setelah 2 bulan stok ASIP meningkat hingga 2-3 botol dalam sehari tentunya tidak sebanyak ibu-ibu bekerja karena saya menyusui langsung dan sisanya saya pumping untuk stok, dan disinilah saya baru bisa bernafas lega dan malam hari mulai tertidur lelap karena kegiatan menyusui langsung sudah lancar.

Stok ASIP sangat menolong, dikala debit ASI tidak menentu.

Semakin R bertambah usia, ASI semakin berkurang dan kadang kuantitasnya naik turun, karena hormonal menstruasi, perasaan depresi karena menjalani LDR dengan suami, stress karena adaptasi berpisah dengan suami di tahun-tahun pertama itu sangat luar biasa! jauh dari kata "indahnya kebahagiaan rumah tangga pengantin baru dengan hadirnya seorang anak di rumah." Komunikasi yang berantakan, pengertian yang sulit sekali dilakukan, beda waktu 2 jam yang meniadakan komunikasi berkualitas seperti saat saya sibuk mengasuh R ayahnya kuliah, dan ketika R sudah tidur ayahnya pun disana juga sudah tidur karena disana sudah larut malam, kesibukan di dunia masing-masing membuat momen indah mempunyai anak menjadi berantakan. Dan saya pun stress luar biasa dan suami pun juga stress karena tekanan kuliah dan tekanan finansial. Sampai suatu saat kami sama-sama seperti gunung berapi sedang buang lahar yang entah kemana muaranya..saling menyalahkan satu sama lain. Padahal di saat-saat stress seperti itu pijatan punggung terbaik dari suami itu menjadi hal yang sangat mewah yang tidak pernah saya rasakan. Ah! sudahlah...lelah hayati kalau di bikin baper. 
Sisa ASIP R, 20 bulan

Saya sering sekali menangis, karena kelelahan dan kurangnya perhatian. Kekacauan itu sering sekali berulang. Karena stress, ASI saya sempat drop...kadang naik..kadang turun drastis. Saya berhenti berpikir menjadi ibu ideal dengan pemikiran menyusui langsung saja lebih baik dibanding ASIP, tapi ternyata stok ASIP lah yang menyelamatkan R dari dampak ketidakstabilan emosi ibunya, bahkan demi menstabilkan emosi agar ASI saya kembali, saya sempat tidak sama sekali komunikasi dengan suami selama 2 bulan. Gila! ya, mau tidak mau itulah upaya saya untuk menenangkan diri demi R. Sesekali saya memandang R ketika lelap tertidur sambil menyusu. Memang benar, kasih sayang ibu untuk seorang anak seluas samudra, anak bisa menjadi alasan terbaik untuk menguatkan segala-galanya. Saya tidak lagi pernah menganggap pusing atas semua hal yang terjadi pada saya, yang penting R sehat, bahagia dan ASI cukup, saya belajar untuk menyerahkan semuanya pada Allah, mendoakan suami yang jauh disana dari semua resiko yang mungkin saja akan terjadi.

Di usia R 19 sampai dengan 21 bulan berat R tidak kunjung naik, hanya stuck 11 kg. Padahal makan karbo dengan porsi 4 sendok  makan, protein dua kali lipat, cemilan berat sehari 2 kali bahkan lebih, ASI selain menyusui langsung, tengah malam pun saya tambah ASIP tapi tak kunjung berhasil, hanya perutnya saja yang membuncit karena kebanyakan makan dan kembung minum. Penyebab berat R tidak kunjung naik karena R sangat aktif sekali, susah diemnya, duduk pun 5 detik aja gak bisa. Sampai pada suatu saat R sakit dan berat badannya berada di grafik kuning alias di bawah normal. Di usia 22 bulan, saya  putuskan R mulai sambung susu formula satu hari sekali agar berat badannya ideal, padahal stok ASIP di kulkas masih full. Kegiatan menyusui dan menghabiskan stok ASIP masih dilakukan hingga R berusia 2 tahun.

Stop! Tidak ada ibu ideal atau ibu sempurna,

Ada seorang ibu mengatakan pada saya, "Hebat ya umur segini R masih ASI eksklusif? bawaan ASI nya memang banyak sih ya, ibunya juga pembawaannya tenang." saya cuma bisa tersenyum. Padahal...kalo tau cerita sesungguhnya gimana perjuangan saya untuk bisa memberikan ASI hingga 2 tahun..Beugh!! disamping berat tapi harus bisa menstabilkan emosi, disiplin dan konsisten untuk rutin pumping agar Let Down Reflect (LDR) ASI selalu terasah itu gak gampang. Tidak segampang ibu-ibu yang ASI nya udah ngerembes sejak hamil, dan kondisinya tidak seindah ibu-ibu yang bisa berbagi lelah dengan suami kapan saja. Semua saya jalani sendirian. Hingga suatu saat R saya berikan susu formula di umur 22 bulan sebagai latihan sapih dan masalah berat badan, saya mulai menyadari tidak ada ibu ideal atau ibu yang sempurna. Berhenti menyalahkan diri sendiri dan menyadari apa yang terbaik menurut seorang ibu belum tentu baik untuk anak. Setiap anak punya masalah sendiri-sendiri. Saya pikir, mengapresiasi diri sendiri sekali-sekali penting karena sudah sejauh ini saya melangkah, dan tidak menyangka saya bisa berikan ASI untuk R hingga 2 tahun meskipun tidak sehebat ibu-ibu tangguh di luar sana atau seberuntung ibu-ibu yang bisa menyusui anaknya tanpa bantuan susu formula hingga 2 tahun meskipun mereka sibuk bekerja.

Weaning with Love,
Ingin menyapih anak saat umur 2 tahun, atau menyapih sambil menunggu kesiapan anak sah-sah saja. Saya lebih memilih menyapih dengan menggunakan metode Weaning with Love atau Slow Weaning, dimana ibu dan anak sama-sama siap. Selama ASI masih ada akan terus saya berikan tetapi dikurangi porsinya dengan memberikan susu formula lebih banyak sambil memberinya pengertian atau membiasakan membacakan buku cerita sebelum tidur dan pengalihan lainnya.

Menurut Elizabeth N. Baldwin yang dilansir oleh The Asian Parent, anak yang menemukan independensi (kemandirian)nya sendiri akan lebih independen dibandingkan dengan anak yang dipaksa melakukannya.

Rasanya dalam proses menyapih? Jelas, perasaan saya mengharu biru, tidak hanya anak yang merasa seperti tidak disayang, saya juga terkadang merasakan seperti berpisah dengan sudah lewatnya masa-masa bayi R yang hanya bisa dikenang seumur hidup. Beneran deh, kegiatan menyusui itu menyenangkan dimana kasih sayang seorang ibu dan anak benar-benar lengkap.
Semoga pengalaman saya ini bermanfaat ya buat ibu-ibu yang sedang memperjuangkan hak ASI untuk anak-anaknya. Menyusuilah dengan keras kepala! ;)


No comments:

Post a Comment