September 26, 2016

Weekly Diary #6 : Bertahan.


Hari ini hujan.
R sudah tertidur lelap, dan saya tidak ingin melakukan apapun selain menikmati suara air dan angin di atas kediaman rumah. Rasanya lelah sekali menjalani hari-hari sendirian. Sepi. Saya seperti kehilangan makna dari keluarga ini, karena mungkin saya kehilangan yang namanya kehangatan. Kehangatan bukan datang dari pelukan seperti abg labil yang gak jelas, tapi kehangatan berupa kapan terakhir kali saya melihat senyuman dan kebersamaan. Saya juga lupa kapan kami bisa melakukan aktivitas dan piknik bersama-sama terakhir kali. Rasanya waktu menjadi semakin lama dan panjang, padahal saya gak pernah berhitung atau mencoreti tanggal kalender, bahkan saya sering lupa ini sudah bulan dan hari yang ke berapa kami tidak bertemu.
Seakan-akan waktu sudah menenggelamkan diri ke dalam rutinitas masing-masing, sesuai prediksi, kami sudah mulai terbiasa untuk jalan sendiri-sendiri. Saya tidak tau keadaan begini akan berlanjut sampai kapan. Karena kesibukan masing-masing rasanya sudah menomorduakan apa yang namanya perhatian meskipun tujuannya tetep sama, yaitu beraktivitas untuk keluarga dan masa depan. Suami menetapkan target untuk mendapatkan pendapatan sebulan sebesar KRW 8000 agar bisa membawa anak istri bersamanya. Yasudahlah...terserah, meskipun dari awal ada perasaan ga enak soal kerja ditarget-target begitu, dan saya juga lebih senang tinggal di tanah air.

Kadang, ketika ingin memulai lagi dari awal, selalu saja muncul masalah dan perdebatan, dan diam adalah obat sementara untuk membuat semuanya menjadi tenang sambil mencari solusinya. Tapi, capek juga ya...karena yang begini-begini terulang lagi, dengan masalah yang sama atau yang baru tanpa solusi, yang ada hanya meninggalkan drama yang gak jelas. Lama-lama. Saya bosan. Tapi cuma bisa diam saja.

Dan seketika lamunan melankolis saya tambah pecah. Sore begini suami kirim saya message, bahwa dia mengalami kecelakaan di tempat kerja part timenya, kakinya tertimpa besi ketika sedang mengangkut barang berupa besi tersebut. Dan beberapa jari kakinya retak hingga mengharuskannya berhenti bekerja selama sebulan. Saya panik, lemas, saking bingungnya cuma bisa nangis karna gak bisa ngapa-ngapain. Mau lihat gak bisa, mau bantu ngurusin gak bisa. Kakinya di gips. Dan saya gak bisa membayangkan bagaimana dia beraktivitas seperti berjalan dari asrama ke kampusnya, karna sangat jauh dan harus jalan kaki melewati dan mengelilingi sekian besar lapangan sepak bola.

Belum selesai saya menangis, R tau-tau demam tinggi, gak ada yang sakit, mungkin gigi belakangnya mau tumbuh. Rasanya kepala saya tiba-tiba pusing. Karna keadaan suami saya yang jauh, dan saya gak bisa apa-apa. Belum lagi, belakangan R kadang sering menyebut ayahnya 'om', karna dia gak mengerti apa itu ayah? Saat itu saya merasa putus asa, kepingin sudahi saja semua perjuangan ini, ingin suami pulang saja dan berhenti meneruskan studinya. Tapi dipikir-pikir saya sudah seperti pecundang. Tiba-tiba saya ingat pesan suami di hari ulang tahun saya yang ia tuliskan di kartu ucapan,

"Selalu menjadi super mom untuk anak kita, 
selalu menjadi super wife untuk mas dan kehidupan kita."

Lagi-lagi, saya berusaha berhenti menangis dan diam sejenak untuk meredakan pusing di kepala yang teramat sangat. Ibu saya datang membawakan saya cemilan buah-buahan agar hati saya lebih tenang dan tabah. Dan soal ini saya bersyukur masih punya orang tua yang sehat dan masih bisa menguatkan saya dalam segala hal. Saat itu, saya memilih untuk bertahan dan mencoba berdamai dengan situasi sulit seperti ini dan saya cuma bisa bilang sama suami, lupakan saja soal KRW 8000 per bulan itu, dan saya gak suka dengan pekerjaannya yang beresiko seperti itu, berharap kejadian ini tidak terulang lagi untuk yang kedua kali.

Sampai sekarang saya suka heran sendiri sama suami, dengan kondisi sakit begitu dia masih saja kerja meskipun ringan tapi saya gak bisa ngebayangin dengan kondisi badan yang gak fit seperti itu. Saya gak tau lagi harus ngapain selain cuma bisa berdoa saja agar kami bertiga selalu dalam lindungan Allah. 

2 comments:

  1. baca tulisan mba, jadi saya ingat perjuangan orangtua saya dahulu,

    stay strong ya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima Kasih kolagit, iya nih perjuangan membangun masa depan yang lebih baik. :)

      Delete