Saya sadar ketika saya mempunyai saudara jauh yang cacat secara fisik, beliau bisu dan tuli. Saya juga mempunyai seorang tante yang mempunyai keterbelakangan mental dengan IQ hanya 20 juga tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Tapi, sejauh ini mereka mempunyai perasaan yang sama dengan tingkat sensitifitas dan tingkat kedewasaan yang lebih tinggi dibandingkan orang normal pada umumnya.
Saya lihat beliau yang ingin berbicara dan mendengar dengan baik tetapi tidak mampu dengan keterbatasannya. Yang membuat dia sadar adalah kedewasaan untuk mampu menerima keterbatasan. Hingga ia berhasil menjadi mahasiswa terbaik di Jepang dan lulus kuliah teknik pertanian di UGM, hingga mendapatkan seorang istri normal yang mampu menerima keterbatasannya.
Tante saya pun dengan keterbelakangan mentalnya mampu memainkan perasaan naluriah sebagai anak terhadap ibunya, ketika ibunya (alias eyang saya) sakit, dia yang tidak bisa berkomunikasi dengan jelas berusaha mengatakan kepada saya bahwa ibunya sakit dan butuh bantuan, sampai pada ketika ibunya tutup usia dengan keterbatasannya dan satu kali seumur hidupnya ia berhasil mengucapkan doa basmalah dan al fatihah dengan lantang dan lengkap di depan jasad ibunya. Seketika itu, saya tidak dapat menahan haru dan tangis. Bahwa keterbatasan itu akhirnya adalah sebuah anugrah, bahwa ketulusan ibu pada anaknya itu menunjukkan keindahan bagi siapa saja yang melihatnya. 
Mungkin kita sebagai orang normal mengeluh ketika sakit kepala menyerang, mengeluh ketika kita tidak mendapatkan sepeserpun dari yang kita harapkan.
Di sini saya belajar, bagaimana ketidakmampuan itu adalah belajar untuk menjadi dewasa, menyadari keterbatasan, dan menerima keadaan tanpa mengesampingkan usaha dan perjuangan.
Inspirasi dari Eyangti tercinta,
Slamat Jalan, doa kami semua selalu menyertaimu eyang..
(27 Desember 2010)
 
No comments:
Post a Comment